Aksiologi Komunikasi
Halo semuanyaa!! Perkenalkan Nama Saya Sabrina Faliza Agustinova, Saya dari Universitas Satya Negara Indonesia Kampus B dengan progam studi Ilmu Komunikasi dan tak lupa juga Dosen Pengampu saya adalah Ibu Serepina Tiur Maida S.Sos., M.Pd., M.I.Kom., C.AC.
Jadi teman disini saya akan menjelaskan tentang apa itu Aksiologi Komunikasi. Oke saya lanjut ya, mohon disimak ya teman-teman!!
Aksiologi merupakan asas mengenai cara bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan yang secara epistemologis diperoleh dan disusun. Aksiologi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai-nilai etika, estetika, atau agama. Dalam hubungannya dengan filsafat komunikasi, aksiologi adalah suatu kajian terhadap apa itu nilai-nilai manusiawi dan bagaimana cara melembagakannya atau mengekspresikannya. Jelaslah, pentingnya seorang komunikator untuk terlebih dahulu mempertimbangkan nilai (value judgement), apakah pesan yang akan dikomunikasikan etis atau tidak, estetis atau tidak.
Aksiologi adalah filsafat nilai. Nilai yang dimaksudkan adalah nilai kegunaan. Apa kegunaan ilmu itu dalam kehidupan manusia? Tentu kita semua setuju dan sepakat bahwa ilmu telah banyak memberikan manfaat dalam kehidupan dan kesejahteraan umat manusia di dunia. Ilmu telah mampu mengubah dan memberantas bahaya bencana kelaparan, kemiskinan, mewabahnya berbagai penyakit, buta aksara, dan lain-lain bencana yang melanda wajah duka kehidupan manusia. Ilmu telah mampu membuat kehidupan manusia lebih mudah dan membantu melakukan pekerjaan dengan efektif dan efisien. Namun demikian, ilmu juga dapat digunakan untuk merusak sendi-sendi kehidupan manusia dan bahkan membinasakan manusia.
Bramel seperti yang dikutip Amsal (2009) membagi aksiologi dalam tiga bagian, yakni moral conduct, estetic expression, dan socio-political life. Moral Conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan yang mana bidang ini melahirkan keindahan. Dan terakhir yang membidangi lahirnya filsafat kehidupan sosial politik.
Memperbincangkan aksiologi tentu membahas dan membedah masalah
nilai. Apa sebenarnya nilai itu? Bertens (2007) menjelaskan nilai sebagai sesuatu yang menarik bagi seseorang, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang dicari, sesuatu yang disukai dan diinginkan. Pendeknya, nilai adalah sesuatu yang baik. Lawan dari nilai adalah non-nilai atau disvalue. Ada yang mengatakan disvalue sebagai nilai negatif. Sedangkan sesuatu yang baik adalah nilai positif. Hans Jonas, seorang filsuf Jerman-Amerika, mengatakan nilai sebagai the addresse of a yes. Sesuatu yang ditujukan dengan ya. Nilai adalah sesuatu yang kita iya-kan atau yang kita aminkan. Nilai selalu memiliki konotasi yang positif (Bertens, 2007).
Ada tiga ciri yang dapat kita kenali dengan nilai, yaitu nilai yang berkaitan subjektif, praktis, dan sesuatu yang ditambahkan pada objek (ibid, 141). Pertama, nilai berkaitan dengan subjek. Artinya, nilai itu berkaitan dengan kehadiran manusia sebagai subjek. Kalau tidak ada manusia yang memberi nilai, nilai itu tidak akan pernah ada. Tanpa kehadiran manusia pun, kalau Gunung Merapi meletus ya tetap meletus. Pasalnya sekarang, ketika Gunung Merapi meletus misalnya, apakah itu sesuatu yang “indah” ataukah “membahayakan” bagi kehidupan manusia. Kesemuanya itu tetap memerlukan kehadiran manusia untuk memberikan penilaian. Dalam hal ini nilai subjektivitas memang bergantung semata-mata pada pengalaman manusia. Kedua, nilai dalam konteks praktis. Yaitu, subjek ingin membuat sesuatu seperti lukisan, gerabah, dan lain-lain. Ketiga, berkaitan dengan nilai tambah pada objek. Nilai tambah itu dapat berupa budaya, estetis, kewajiban, kesucian, kebenaran, maupun yang lainnya. Bisa jadi objek yang sama akan memiliki nilai yang berbeda-beda bagi berbagai subjek.
Perbedaan antara nilai sesuatu itu disebabkan sifat nilai itu sendiri. Nilai bersifat ide atau abstrak (tidak nyata). Nilai bukanlah suatu fakta yang dapat ditangkap oleh indra. Tingkah laku perbuatan manusia atau sesuatu yang mempunyai nilai itulah yang dapat ditangkap oleh indra karena ia bukan fakta yang nyata. Jika kembali kepada ilmu pengetahuan, kita akan membahas masalah benar dan tidak benar. Kebenaran adalah persoalan nilai bukanlah membahas kebenaran dan kesalahan (benar dan salah) akan tetapi masalahnya ialah soal baik dan buruk, senang atau tidak senang. Masalah kebenaran memang tidak terlepas dari nilai, tetapi nilai adalah menurut nilai logika. Tugas teori nilai adalah menyelesaikan masalah etika dan estetika.
Teori nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika memiliki dua arti yaitu, kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia, dan predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya. Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif (Amsal, 2009). Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Sumber :
https://www.google.com/imgres?imgurl=x-raw-image%3A%2F%2F%2F68f0a5263c27d9955017b7d3e7a5b30022778bbd71e306ff5abe520e0d260fbb&tbnid=ldknPCal8GhlKM&vet=1&imgrefurl=https%3A%2F%2Fwww.ocw.upj.ac.id%2Ffiles%2FSlide-CMM209-CMM209-Slide-04.pdf&docid=EA-5ZpZa9W3LXM&w=900&h=540&itg=1&hl=in-ID&source=sh%2Fx%2Fim%2Fm1%2F4
https://bahan-ajar.esaunggul.ac.id/kmi204/wp-content/uploads/sites/552/2019/12/8._PEMIKIRAN_FILSAFAT_KOMUNIKASI.ppt
https://kanal.umsida.ac.id/index.php/kanal/article/view/1630/1837
Komentar
Posting Komentar